Kamis, 03 November 2016

Toleransi dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika



Toleransi dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika
Tri Sumaria, Farmasi 2013, Universitas Sumatera Utara

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) yang terdiri atas pulau-pulau yang dibatasi oleh laut dan selat. Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragamannya, baik dari segi suku, agama, budaya, bahasa, dan daerah asal yang tersebar luas dalam ribuan pulau.
Keanekaragaman bangsa Indonesia dapat menjadi modal dasar dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu, untuk mendukungnya sangat diperlukan rasa toleransi, rasa kesatuan dan rasa persatuan yang tertanam di setiap masyarakat Indonesia.
Toleransi merupakan tindakan menahan diri, bersabar, membiarkan orang berpendapat lain dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat lain. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak setiap individu. Dalan konteks kehidupan berbangsa, toleransi dapat diartikan sebagai sikap saling menghargai antar sesama, berusaha mengurangi sikap diskriminasi dan ketidakadilan yang dilakukan pihak mayoritas terhadap pihak minoritas untuk mewujudkan cita-cita bersama. Toleransi sejatinya didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani, dan keyakinan, serta keikhlasan sesama apa pun agama, suku, golongan, ideologi atau pun pandangannya. Dalam konteks seperti ini, toleransi dapat diartikan sebagai suatu pandangan yang mengakui “The Right of Self Determination” yaitu sebagai hak menentukan nasib sendiri sesuai dengan hak-hak pribadi. Dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, sikap toleransi yang dibina dan dikembangkan akan menumbuhkan sikap saling menghormati antar sesama agar tercipta suasana tenang, damai, dan tentram.
Toleransi sangat penting bagi suatu bangsa dalam menghadapi keanekaragaman yang ada. Dapat kita bayangkan jika sikap toleransi benar-benar hilang dalam diri masyarakat Indonesia yang multikultural. Kita tidak akan bisa hidup dengan tenang karena hati kita selalu dipenuhi dengan rasa benci, dendam, tidak ada kasih sayang dan akan berujung pada konflik sosial yang berkepanjangan. Dengan adanya konflik, maka kekayaan budaya akan punah secara bertahap.
Persatuan dalam keberagaman sangat penting untuk dimiliki. Persatuan dalam keberagaman harus dipahami oleh setiap warga negara agar dapat terwujudnya kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang serta pergaulan antarsesama terjadi lebih akrab. Selain itu pembangunan di Indonesia juga dapat berjalan dengan lancar.
Keberadaan nilai-nilai persatuan jelas tertuang dalam makna Bhineka Tunggal Ika. Adanya suku dan agama yang berbeda di Indonesia adalah wujud perbedaan yang seharusnya dimaknai sebagai kekuatan dan kekayaan Indonesia. Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhineka Tunggal Ika sebagi semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit  juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga adalah semboyan yang harus dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sebagai sebuah Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai etnis dan budaya, Indonesia menghadapi berbagai kemungkinan adanya perpecahan yang dapat menjadi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan kesatuan bangsa. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai upaya pun dilakukan seperti diwajibkan kepada seluruh masyarakat untuk memupuk komitmen persatuan dalam keberagaman, yaitu tidak menyinggung SARA, harus saling menghormati antar agama dan keyakinan, serta menghargai perbedaan budaya.
Namun, dalam kenyataannya masih banyak konflik yang terjadi dengan mengatasnamakan suku, agama, ras, atau antargolongan tertentu. Seharusnya keanekaragaman ini menjadi modal bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang kuat. Tetapi masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Salah satunya masih ada bentrokan yang mengatasnamakan suku tertentu ataupun golongan tertentu. Hal ini jelas menunjukkan belum adanya kesadaran akan sikap komitmen persatuan dalam keberagaman di Indonesia.
Menurut J. Ranjabar hal-hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya konflik pada masyarakat Indonesia adalah terjadinya dominasi suatu kelompok lain seperti konflik yang terjadi di Aceh dan Papua atau terjadinya persaingan dalam mendapatkan mata pencaharian hidup antara kelompok yang berlainan suku bangsa, seperti yang terjadi di Sambas. Selain itu, juga terjadi pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari sebuah suku terhadap suku bangsa lain, seperti yang terjadi di Sampit, serta konflik juga dapat muncul karena adanya permusuhan adat yang terpendam lama, seperti yang terjadi di pedalaman Papua.
Untuk mempersatukan masyarakat yang beragam, perlu adanya toleransi yang tinggi sehingga dapat menghindari konflik sosial yang ada di Indonesia. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang relatif sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dengan demikian terjadilah persaingan hingga menimbulkan suatu benturan-benturan fisik baik skala kecil maupun dalam skala besar. Oleh karena itu, sikap toleransi sangat diperlukan untuk hadir di tengah-tengah keberagaman yang ada di Indonesia.
Sikap toleransi harus kita terapkan pada semua kalangan masyarakat di Indonesia, yaitu seperti saling menghargai antar golongan baik dari segi suku, bahasa, agama, daerah asal, serta mengenali dan mencintai budaya lain, yaitu dengan cara pengenalan budaya kepada masyarakat di seluruh Indonesia. Contoh nyata implementasi hal tersebut adalah dengan mengadakan festival budaya dimana setiap suku memperkenalkan kebudayaannya masing-masing. Hal ini dapat membuat masyarakat Indonesia tidak kehilangan jati diri dan daerah asalnya, namun selain itu masyarakat juga tetap menjunjung tinggi kebersamaan nasionalnya.
Persatuan bangsa Indonesia tidak akan terwujud apabila masyarakatnya masih memprioritaskan kepentingannya sendiri, dan masih menginginkan golongannya lah yang berada di depan dengan meninggalkan golongan yang lain. Apabila hal seperti ini masih saja terjadi, maka cita-cita Indonesia yang terdapat dalam sila ketiga Pancasila hanya akan menjadi mimpi yang tak akan pernah terwujud. Maka kita sebagai pemuda Indonesia harus mampu menghidupkan kembali semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Walau kita terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, daerah, maka percayalah kita tetap satu. Satu bangsa, satu tanah air, serta satu bahasa. Keberagaman harus membentuk masyarakat Indonesia memiliki rasa toleransi yang tinggi dan rasa saling menghargai untuk menjaga setiap perbedaan yang ada. Karena sesungguhnya keberagaman lah yang akan membawa bangsa kita melesat tinggi menuju bangsa yang maju dan kuat, dimana akan bersaing dengan negara-negara maju yang ada di dunia.
Semoga sikap Bhineka Tunggal Ika senantiasa hadir di tengah-tengah bangsa Indonesia dan semakin melebur menjadi satu dalam diri pemuda Indonesia, hal ini ditujukan agar sikap Bhineka Tunggal Ika tersebut dapat membentuk dan terpatri selamanya dalam jiwa-jiwa pemuda Indonesia agar menjadi kepribadian yang sangat luar biasa, memiliki jiwa toleransi yang tinggi dan semoga terus menjadi pemersatu bangsa Indonesia di tengan keberagaman.

Stop Penggunaan Antibiotik yang tidak Rasional


Stop Penggunaan Antibiotik yang tidak Rasional
Tri Sumaria, Fakultas Farmasi 2013, Universitas Sumatera Utara
                                                           
Antibiotik merupakan obat yang banyak diresepkan pada pasien. Siapa yang tidak kenal dengan antibitotik? Saat ini hampir sebagian besar masyarakat telah mengenal antibiotik. Menurut Tjay dan Rahardja (2007), antibiotik merupakan zat-zat kimia yang diproduksi oleh fungi dan bakteri, yang berkhasiat untuk menghambat kuman atau bahkan mematikan dengan toksisitas yang relatif kecil. Antibiotik sering digunakan untuk membunuh bakteri penyebab penyakit infeksi.
Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang menghadapi masalah serius dalam penggunaan antibiotik. Hal ini dapat dilihat dari angka pemakaian antibiotik yang tidak rasional.
Menurut Vance dan Millington (1986), penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah yang serius dalam pelayanan kesehatan karena dapat menimbukan dampak negatif. Menurut Qibtiyah (2005), penggunaan obat yang tidak rasional menyebabkan banyak kerugian antara lain pemborosan biaya kesehatan atau pengobatan menjadi lebih mahal, resiko efek samping, perawatan penderita lebih lama, menurunkan kualitas pelayanan kesehatan. Dan menurut Azevedo (2009), penggunaan obat yang tidak rasional dapat menghilangkan sensitivitas bakteri terhadap antibiotik dan memperluas resistensi bakteri.
Pemakaian antibiotik yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat, salah satunya adalah resistensi bakteri pada antibiotik yang ada. Menurut Bronzwear (2002), resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah yang berkembang di seluruh dunia. Tingginya penggunaan antibiotik menyebabkan resistensi tersebut terjadi. Dapat dilihat dari data WHO (2001), yang menyimpulkan bahwa 2.996 orang yang terdaftar menggunakan antibiotik, terdapat 2494 kasus resistensi diantaranya antibiotik ampicillin 34%, trimetoprim/sulfametoksazol 29%, kloramfenikol 15%.
Menurut Kajian Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), resistensi antibiotik kini semakin  meningkat, terutama terjadi pada antibiotik generik yang relatif murah harganya. Keadaan ini dinilai sangat membahayakan, karena dikhawatirkan para tenaga kesehatan belum banyak mengetahui tantang pentingnya antibiotik yang digunakan untuk memerangi penyakit-penyakit infeksi yang baru muncul (emerging) maupun muncul kembali (reemerging). Sedangakan menurut Norris (2009), penggunaan antibiotik untuk kondisi-kondisi yang tidak  lazim  merupakan  salah  satu  faktor  yang  dapat menyebabkan  resistensi  antibiotik. Semua kemungkinan tersebut akan memberikan kontribusi pada  pertumbuhan  dan  penyebaran  resistensi antibiotik.
Salah satu solusi untuk menghadapi tantangan rasionalitas penggunaan antibiotik adalah dengan pemberian antibiotik setelah dilakukannya uji laboratorium. Hal ini disebabkan karena sebelum meresepkan antibiotik kepada seorang pasien, perlu dipastikan terlebih dahulu apakah infeksi tersebut disebabkan oleh bakteri atau parasit yang memang dapat dimusnahkan oleh antibiotik. Jika infeksi tersebut disebabkan oleh virus, maka pasien tidak perlu diberikan antibiotik.
Jadi, pemberian antibiotik pada pasien dilakukan ketika sudah diketahui jenis infeksi yang terjadi pada pasien tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan infeksi pada pasien akan membutuhkan jenis, frekuensi dan dosis antibiotik yang berbeda-beda.
Menurut WHO (2002), penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya secara klinis, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individunya, selama waktu yang sesuai, dengan biaya yang paling rendah sesuai dengan kemampuan masyarakatnya. Penggunaan obat yang rasional harus memenuhi beberapa kriteria berikut, yaitu pemilihan obat yang benar, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, pemberian obat dengan benar dan kepetuhan pasien pada pengobatan.
Dampak akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional diantaranya adalah terjadinya kerusakan gigi, demam, diare, muntah mual, mulas, ruam kulit, gangguan saluran pencernaan, pembengkakan bibir maupun kelopak mata, hingga gangguan napas. Bahkan menurut berbagai penelitian menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini beresiko menimbulkan alergi dikemudian hari.
Resistensi antibiotik tidak hanya menjadi tugas pemerintah, melainkan juga menjadi tugas para penggerak sarana pelayanan kesehatan untuk memberikan pengobatan antibiotik yang rasional. Dengan penggunaan antibiotik secara rasional maka akan memberikan optimalisasi terapi antibiotik sehingga memberikan hasil yang optimal.