Katanya, kehadiranku
sangat dinantikan olehnya. Bahkan ia rela mempertaruhkan nyawa saat aku
dilahirkan ke muka bumi ini, serta proses pendarahan yang saat itu agak sulit
dihentikan.
Saat aku kecil,
Ia akan marah jika aku
malas pergi mengaji. Saat itu aku sempat menangis hebat agar tidak diantar ke
musholla, namun nyatanya ia memiliki 1001 cara untuk membujukku agar mau pergi mengaji.
Hingga akhirnya aku berjanji padanya untuk tidak malas lagi pergi mengaji. Aku masih
sangat ingat kejadian itu, karena setelah itu ia membelikanku sepeda baru untuk
ku gunakan pergi ke musholla untuk mengaji.
Saat aku remaja,
Pertama kalinya ia
memberikan tanggung jawab atas pilihanku. Aku sudah tak seperti kanak-kanak
dulu yang tak mau pergi mengaji, bermain hingga lupa waktu, atau sering bermain
di sungai. Kini aku lebih suka di rumah untuk belajar. Bahkan saat teman
seusiaku berpacaran dengan teman sekolahnya, ia justru menasehatiku untuk
menjaga kepercayaannya. Ia selalu mengatakan “jadilah si ragil yang membanggakan”.
Hingga saat itu aku bertekad untuk berprestasi di sekolahku. Alhamdulillah,
saat itu aku mampu menjadi juara umum di sebuah sekolah menengah pertama di
daerahku.
Kata-kata itu masih
saja melecut diriku untuk terus
membuatnya bahagia. Hingga suatu hari ketika hari kelulusanku tiba, aku mengutarakan niatku kepadanya untuk merantau ke kota lain, melanjutkan
pendidikan SMA di sana. Awalnya aku yakin ia akan setuju, karena ku dengar SMA
itu merupakan SMA terbaik dan sudah banyak mencetak generasi yang mumpuni. Namun
kenyatannya ia menentang hebat. Alasannya banyak. Aku anak perempuan, anak
paling kecil, masih remaja yang baru beranjak dewasa, masih manja yang belum
bisa hidup sendiri. Kecewa. Yaa, aku kecewa padanya. Bukankah dirinya yang
selalu mengatakan “jadilah si ragil yang membanggakan?” Namun kenapa ia tidak memberikanku izin untuk
mengukir prestasi itu? Seminggu berkutat untuk meminta izinnya, segala cara
sudah dilakukan, hingga cara yang ku anggap paling ampuh (red: ngambek) pun ternyata
tak dapat menggoyahkan keputusannya. Hingga, lagi-lagi ia membujukku. Merayuku
untuk meneruskan pendidikan SMA di daerah setempat. Hatiku luluh kala itu,
karena izinnya adalah segala-galanya
bagiku. Izinnya sebanding dengan izin Sang Maha Pencipta. Maka dari itulah aku
turuti permintaannya.
Saat aku remaja menuju
dewasa,
Aku terus menjaga kepercayaan
yang ia berikan padaku. Disini aku mulai sadar bahwa waktu kebersamaanku
dengannya sudah berkurang. Di waktu senja aku baru tiba di rumah dikarenakan
kegiatan sekolah yang padat, dari mulai les sore, praktikum, serta kegiatan
ekstrakurikuler. Namun walau seperti itu, ia selalu membekali ku untuk makan
siang. Tak lupa susu serta sarapan yang selalu ia hidangkan di pagi hari. Ahh,
ia selalu menjadi yang terbaik dalam hidupku.
Suatu hari pernah ia
khawatir hebat terhadapku. Saat itu handphoneku mati sehingga tidak bisa untuk
memberinya kabar bahwa ada praktikum dadakan sore itu. Hingga senja tiba aku
belum tiba di rumah. Ia duduk di beranda rumah sambil menungguku. Saat aku
tiba, ia menangis dan mengatakan sangat menghawatirkanku. Ya Allah... sebegitu
khawatirnyakah ia dengan keselamatanku? Hingga setelah itu aku berjanji untuk
selalu memberikan kabar kepadanya, bagaimanapun kondisi dan situasiku.
Saat aku jauh darinya,
Pertama kalinya aku
merasakan pelukan yang paling berat dalam hidupku. Aku harus siap menjalani
kehidupanku sendiri. Dan lagi-lagi kulihat wajahnya khawatir. Sejujurnya aku
tak suka melihatnya khawatir seperti itu. Aku takut itu akan membuat beban
pikirannya bertambah. Hingga saat itu ku paksakan bibirku melengkung membentuk
segaris senyum agar dapat mengurangi kecemasannya. Mengatakan bahwa aku akan
baik-baik saja disini.
Aku tahu, ini pertama
kalinya kami hidup berjauhan. Setelah beberapa hari tanpanya, aku semakin
mengerti betapa berartinya dirinya untukku selama ini. Hingga kini aku semester
6, aku selalu ingat apa yang dikatakannya. Karena sebaris kalimat itulah yang
mampu menjadi stimulan untuk terus melangkah, untuk terus memacu diriku menjadi
insan yang bermanfaat. Selama ini, aku selalu meminta doa-doanya agar Allah
selalu menjagaku, agar Allah memudahkan segala aktivitasku, dan agar Allah
memudahkan diriku untuk meraih impian-impianku. Ah, ia memang selalu ada
untukku. Selalu menjadi tujuan dari kegamanganku. Selalu menjadi tempat untuk
ku bersandar, mengadu, bahkan menangis. Ia adalah mama.
Mama adalah kata
terindah dalam hidupku. Seorang murabbi pertama yang menjadi perantara untuk
aku dapat menikmati indahnya semesta. Seorang guru terbaik yang selalu
mendidikku, melatihku berjalan, berbicara, serta aktivitas lainnya.
Mama...
Bagaimana lagi aku
harus mendeskripsikan segala hal tentangmu?
Bagaimana aku harus
membalas cinta kasihmu selama ini?
Bagaimana caranya aku
membalas segala hal kebaikanmu? Kelembutanmu? Serta kesabaranmu?
Bagaimana aku membalas
beribu-ribu doa yang kau panjatkan untukku seusai shalatmu? sehingga disini
aku merasa Allah selalu mempermudah segala aktivitasku.
Bagaimana saat tiba
waktunya untuk mama kembali, aku belum menjadi ‘si ragil yang membanggakan’?
Di tempat yang jauh
darimu saat ini, aku selalu memikirkan apakah mama bahagia? Apakah mama sudah
makan? Bahkan ketika malam minggu tiba, disaat jadwal telfonan kita, aku selalu
merasa ingin pulang. Ingin melihat langsung ketika mama makan, masak, dan
segala aktivitas lainnya.
Mama..
Terima kasih atas
segala hal yang telah kau beri selama ini. Ma, suatu saat nanti aku pasti bisa
menjadi ‘si ragil yang membanggakan’. Karena aku yakin, doa-doa mama selalu
didengar oleh Allah Swt. Biarlah Allah yang mengatur semuanya. Ma, memilikimu
adalah nikmat terindah yang harus ku syukuri. Bagaimana tidak? Engkau adalah
malaikat tanpa sayap yang Allah hadirkan untukku. Izinmu seperti izin Sang Maha
Pencipta. Serta doa mu merupakan obat yang paling mujarab di saat aku sakit
dalam kehidupanku.
Segala hal yang telah
mama beri tak mungkin dapat kubalas semuanya, karena aku tahu aku tak mampu
untuk membalas setiap pengorbananmu. Hanya Allah yang dapat membalas semuanya
dan aku selalu meminta kepada-Nya. Untuk mempersatukan kita di surga-Nya kelak.
Aamiin ya Rabbal 'alamin...
Aku sayang mama :)
Medan, 10 Februari 2016
Lembar 3, Dandelion Sang
Pemimpi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar