Selasa, 09 Februari 2016

Beautiful Word in My Life (Mama)


Katanya, kehadiranku sangat dinantikan olehnya. Bahkan ia rela mempertaruhkan nyawa saat aku dilahirkan ke muka bumi ini, serta proses pendarahan yang saat itu agak sulit dihentikan.

Saat aku kecil,
Ia akan marah jika aku malas pergi mengaji. Saat itu aku sempat menangis hebat agar tidak diantar ke musholla, namun nyatanya ia memiliki 1001 cara untuk membujukku agar mau pergi mengaji. Hingga akhirnya aku berjanji padanya untuk tidak malas lagi pergi mengaji. Aku masih sangat ingat kejadian itu, karena setelah itu ia membelikanku sepeda baru untuk ku gunakan pergi ke musholla untuk mengaji.

Saat aku remaja,
Pertama kalinya ia memberikan tanggung jawab atas pilihanku. Aku sudah tak seperti kanak-kanak dulu yang tak mau pergi mengaji, bermain hingga lupa waktu, atau sering bermain di sungai. Kini aku lebih suka di rumah untuk belajar. Bahkan saat teman seusiaku berpacaran dengan teman sekolahnya, ia justru menasehatiku untuk menjaga kepercayaannya. Ia selalu mengatakan “jadilah si ragil yang membanggakan”. Hingga saat itu aku bertekad untuk berprestasi di sekolahku. Alhamdulillah, saat itu aku mampu menjadi juara umum di sebuah sekolah menengah pertama di daerahku.
Kata-kata itu masih saja melecut diriku untuk  terus membuatnya bahagia. Hingga suatu hari ketika hari kelulusanku tiba,  aku mengutarakan niatku kepadanya  untuk merantau ke kota lain, melanjutkan pendidikan SMA di sana. Awalnya aku yakin ia akan setuju, karena ku dengar SMA itu merupakan SMA terbaik dan sudah banyak mencetak generasi yang mumpuni. Namun kenyatannya ia menentang hebat. Alasannya banyak. Aku anak perempuan, anak paling kecil, masih remaja yang baru beranjak dewasa, masih manja yang belum bisa hidup sendiri. Kecewa. Yaa, aku kecewa padanya. Bukankah dirinya yang selalu mengatakan “jadilah si ragil yang membanggakan?”  Namun kenapa ia tidak memberikanku izin untuk mengukir prestasi itu? Seminggu berkutat untuk meminta izinnya, segala cara sudah dilakukan, hingga cara yang ku anggap paling ampuh (red: ngambek) pun ternyata tak dapat menggoyahkan keputusannya. Hingga, lagi-lagi ia membujukku. Merayuku untuk meneruskan pendidikan SMA di daerah setempat. Hatiku luluh kala itu, karena  izinnya adalah segala-galanya bagiku. Izinnya sebanding dengan izin Sang Maha Pencipta. Maka dari itulah aku turuti permintaannya.

Saat aku remaja menuju dewasa,
Aku terus menjaga kepercayaan yang ia berikan padaku. Disini aku mulai sadar bahwa waktu kebersamaanku dengannya sudah berkurang. Di waktu senja aku baru tiba di rumah dikarenakan kegiatan sekolah yang padat, dari mulai les sore, praktikum, serta kegiatan ekstrakurikuler. Namun walau seperti itu, ia selalu membekali ku untuk makan siang. Tak lupa susu serta sarapan yang selalu ia hidangkan di pagi hari. Ahh, ia selalu menjadi yang terbaik dalam hidupku.
Suatu hari pernah ia khawatir hebat terhadapku. Saat itu handphoneku mati sehingga tidak bisa untuk memberinya kabar bahwa ada praktikum dadakan sore itu. Hingga senja tiba aku belum tiba di rumah. Ia duduk di beranda rumah sambil menungguku. Saat aku tiba, ia menangis dan mengatakan sangat menghawatirkanku. Ya Allah... sebegitu khawatirnyakah ia dengan keselamatanku? Hingga setelah itu aku berjanji untuk selalu memberikan kabar kepadanya, bagaimanapun kondisi dan situasiku.

Saat aku jauh darinya,
Pertama kalinya aku merasakan pelukan yang paling berat dalam hidupku. Aku harus siap menjalani kehidupanku sendiri. Dan lagi-lagi kulihat wajahnya khawatir. Sejujurnya aku tak suka melihatnya khawatir seperti itu. Aku takut itu akan membuat beban pikirannya bertambah. Hingga saat itu ku paksakan bibirku melengkung membentuk segaris senyum agar dapat mengurangi kecemasannya. Mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja disini.
Aku tahu, ini pertama kalinya kami hidup berjauhan. Setelah beberapa hari tanpanya, aku semakin mengerti betapa berartinya dirinya untukku selama ini. Hingga kini aku semester 6, aku selalu ingat apa yang dikatakannya. Karena sebaris kalimat itulah yang mampu menjadi stimulan untuk terus melangkah, untuk terus memacu diriku menjadi insan yang bermanfaat. Selama ini, aku selalu meminta doa-doanya agar Allah selalu menjagaku, agar Allah memudahkan segala aktivitasku, dan agar Allah memudahkan diriku untuk meraih impian-impianku. Ah, ia memang selalu ada untukku. Selalu menjadi tujuan dari kegamanganku. Selalu menjadi tempat untuk ku bersandar, mengadu, bahkan menangis. Ia adalah mama.
Mama adalah kata terindah dalam hidupku. Seorang murabbi pertama yang menjadi perantara untuk aku dapat menikmati indahnya semesta. Seorang guru terbaik yang selalu mendidikku, melatihku berjalan, berbicara, serta aktivitas lainnya.

Mama...
Bagaimana lagi aku harus mendeskripsikan segala hal tentangmu?
Bagaimana aku harus membalas cinta kasihmu selama ini?
Bagaimana caranya aku membalas segala hal kebaikanmu? Kelembutanmu? Serta kesabaranmu?
Bagaimana aku membalas beribu-ribu doa yang kau panjatkan untukku seusai shalatmu? sehingga disini aku merasa Allah selalu mempermudah segala aktivitasku.
Bagaimana saat tiba waktunya untuk mama kembali, aku belum menjadi ‘si ragil yang membanggakan’?
Di tempat yang jauh darimu saat ini, aku selalu memikirkan apakah mama bahagia? Apakah mama sudah makan? Bahkan ketika malam minggu tiba, disaat jadwal telfonan kita, aku selalu merasa ingin pulang. Ingin melihat langsung ketika mama makan, masak, dan segala aktivitas lainnya.

Mama..
Terima kasih atas segala hal yang telah kau beri selama ini. Ma, suatu saat nanti aku pasti bisa menjadi ‘si ragil yang membanggakan’. Karena aku yakin, doa-doa mama selalu didengar oleh Allah Swt. Biarlah Allah yang mengatur semuanya. Ma, memilikimu adalah nikmat terindah yang harus ku syukuri. Bagaimana tidak? Engkau adalah malaikat tanpa sayap yang Allah hadirkan untukku. Izinmu seperti izin Sang Maha Pencipta. Serta doa mu merupakan obat yang paling mujarab di saat aku sakit dalam kehidupanku.
Segala hal yang telah mama beri tak mungkin dapat kubalas semuanya, karena aku tahu aku tak mampu untuk membalas setiap pengorbananmu. Hanya Allah yang dapat membalas semuanya dan aku selalu meminta kepada-Nya. Untuk mempersatukan kita di surga-Nya kelak. Aamiin ya Rabbal 'alamin...
Aku sayang mama :)


Medan, 10 Februari 2016
Lembar 3, Dandelion Sang Pemimpi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar